12 July 2008

Teknik Menyembunyikan Gagap

Seperti banyak diinformasikan di website tentang gagap, jenis gagap bermacam-macam. Bersyukur cara bicara saya termasuk gagap yang tidak terlalu parah. Ketika gagap itu menyerang, saya sulit mengungkapkan kata dari awal atau tengah-tengah kata (bukan pengulangan awal suku kata). Jadi tertahan di sebuah kata, yang waktunya tidak begitu lama, sekitar 5 detik kemudian keluarlah kata yang saya maksud dalam betuk ledakan kecil gitu, lalu lancar lagi. Pernah juga sih lebih dari 5 detik, pernah juga tidak akan keluar sama sekali sampai saya harus bantu dengan gerakan bagian tubuh yang lain seperti kepala terangguk-angguk dan mata terpejam dengan sendirinya. Itulah blocking moment yang jadi momok buat saya. Meskipun cuma sebentar tapi kalau itu terdenger cukup membuat orang mengernyitkan kening, ingin segera tau saya mau ngomong apa, atau membuat orang tahu kalau saya gagap, atau cukup bisa membuat orang mentertawakan saya, menirukannya, dan lain-lain yang akhirnya bikin saya malu. Sekarang kondisi seperti di atas hampir tidak pernah terjadi dalam diri saya. Tekniknya seperti saya tuturkan di bawah ini.

Kalau saya (memang kemungkinan berbeda dengan Anda), yang paling sering memang cuma tertahan 5 detik kemudian lancar lagi. Kalau itu yang terjadi, saya sih nggak terlalu pusing. Tapi apakah benar 5 detik? atau lebih? atau sama sekali tidak berhasil ngomong saya nggak pernah tau. Karena itu ketika kemungkinan gagap akan terjadi saya punya teknik tersendiri agar gagap tidak terdengar. Begitu tertahan, saya langsung jaga sikap, jangan sampai terdengar bunyi tertahan, jangan sampai ada gerakan kepala, dan jangan sampai nanti kata yang keluar berbentuk ledakan. Kalau nggak keluar juga kata itu saya nggak mau maksain, saya berhenti ngomong dan saya tarik napas atau pura-pura batuk kecil atau mengeluarkan suara emmm (kayak orang mikir) , baru ngomong lagi. Prosesnya harus cepat dan bisa dilaksanakan kalau sudah terlatih seperti saya. Hehehe namanya juga bertahun-tahun gagap, lama-lama canggih deh.

Selain harus sudah terlatih, teknik ini juga hanya berhasil kalau kita lagi fit. Kalau hati sedang gundah gulana, pikiran nggak konsen, atau fisik kita ngantuk atau capek, bisa tidak terkontrol, dalam keadaan begitu kan kita suka nggak bisa jaga sikap.

Satu lagi tekniknya, untuk mengatasi keanehan berhenti di tengah kata, kalau ada kata yang panjang atau sulit, walaupun belum tertahan berhentilah di awal kata, baru lakukan teknik ambil napas, berdehem atau pura-pura mikir. Niscaya kata itu akan bisa kita ucapkan dengan baik. Nah kata apa yang sulit, tentunya para PWS (people with stutter) udah tau karena kebiasaannya. Kalau saya, misalnya kata "asosiasi" biasanya akan tertahan di huruf s yang pertama. Karena itu saya berhenti dulu pas mau ngomong asosiasi, kalau bablas aneh juga kok kita ngomong as....trus behenti. Kalau udah terlanjur ya apa boleh buat pasti hasilnya as....(blocking)....sosiasi. Ketauan deh kalau gagap.

04 July 2008

Jadi Wartawan

Tahukah kamu kalau saya adalah seorang wartawan? Betul lho saya wartawan. Wartawan kok gagap? Ya itulah saya. Gagap dan berprofesi sebagai wartawan. Bagaimana bisa survive? It's about blessing, berkat karunia Yang Maha Kuasa.

Sejak SMA saya kepincut sama profesi wartawan itu. Kebetulan saya senang baca, terutama baca koran. Saya juga suka menulis, khususnya yang non fiksi. Sudah sifat dari sononya juga saya suka mengamati dan senang sekali dengan kegiatan pengabadian, pendokumentasian, literatur dan hal-hal lain seputar itu. Perjalanan hidup saya pun mengarah ke profesi wartawan, sampai akhirnya berhasil jadi wartawan.

Meskipun kegiatan jadi wartawan itu harga mati, tapi tetap ada pilihan, wartawan koran, majalah, teve, radio, dll. Saya masih bisa milih. Karena saya gagap, maka sasaran saya wartawan untuk majalah dan review yang saya buat lebih ke arah human interest dan lifestyle. Jadi wartawan koran atau tabloid gosip yang harus mengerubungi nara sumber dan melontarkan pertanyaan secara langsung? No way hosey...nggak mungkin lah yaw. Apalagi jadi wartawan elektronik, teve dan radio gitu. Arrggghhhh....pegang mike tuh rasanya seperti megang granat kali ya... Enaknya jadi wartawan majalah yang topiknya human interest dan lifestyle bagi gagapers adalah, wawancaranya kebanyakan one on one. Kalau gagapersnya saya, situasi ini nggak terlalu membahayakan. Selain itu saya bisa nulis lebih banyak dan lebih panjang daripada sebagai wartawan koran. Menulis, itu kan yang saya suka.

Dari waktu kuliah di jurusan jurnalistik saya sudah harap-harap cemas. Nanti gimana ya pas mewawancarai nara sumber? Pasti nervous, ketakutan kalau gagap. Dan kalau benar-benar gagap kan malu-maluin. Ternyata benar, di awal-awal saya jadi wartawan, tiap menjelang wawancara tuh degdegannya bukan main. Eh, bahkan sampai sekarang sih masih suka degdegan. Tapi blessing....justru gara-gara jadi wartawan, gagap saya berkurang.

Begini tekniknya. Menjelang wawancara saya sudah persiapkan petanyaan dan saya latihan dulu. Hal-hal itu masih selalu saya lakukan sampai sekarang. Teknik kecil seperti teknik blocking, mengganti kata yang tiba-tiba nggak kluar dengan kata lain, tarik napas ketika hambatan itu terjadi...dan lain-lain tetap saya lakukan. Alhamdulilah sampai sekarang sudah banyak kali wawancara saya lakukan. Memang tidak semuanya lancar seperti air sungai, tapi so far saya bisa survive dan masih jadi wartawan sampai sekarang.

Mau tau sebuah rahasia? Saya paling sering menunda pekerjaan ketika harus melobi/ minta waktu wawancara dengan nara sumber. Persiapan untuk itu harus lebih lama daripada wawancara itu sendiri. Menelpon orang trus bilang "Saya mau minta waktu wawancara" adalah saat yang paling-paling nggak enak, pastinya sih saya gagap di situ...aduh malu-maluin bendera majalah saya nih....

04 June 2008

Bicara di Seminar

Judul ini bukan berarti pengalaman saya bicara di panggung seminar sebagai pembicara, lho, itu kemungkinan yang tidak akan saya lakukan seumur hidup saya. Bicara di seminar dalam hal ini maksudnya sebagai peserta seminar, duduknya tetap di kursi peserta, bukan di panggung. Tapi buat saya itu sudah hebat.

Jadi ceritanya, beberapa waktu lalu, perusahaan tempat saya bekerja mengirim beberapa karyawannya untuk mengikuti sebuah seminar. Saya termasuk yang didaftarkan. Seminarnya cukup menarik, tentang menjaring konsumen, yang sangat berguna bagi pekerjaan saya. Saking seriusnya mengikuti seminar ini, ketika sesi tanya jawab saya tiba-tiba ingin sekali bertanya. Tau-tau saya sudah tunjuk jari dan kemudian panitia menyodorkan microphone kepada saya. Mampus.... Tapi ya sudah, nasi sudah menjadi bubur. Saya raih michrophone itu dan saya bicara. Untungnya semuanya berlalu dengan baik. Kalimat terlontar semua, pembicara mengerti pertayaan saya dan kemudian memberikan jawabannya. Lega sekali....

Sampai di kantor, teman kerja sesama peserta seminar menceritakan kejadian tadi kepada teman yang lain, saat kami sedang ngobrol bertiga. "Tadi di seminar, Yasmin nanya ke pembicara lho." Teman yang lain pun terheran-heran..."Oya? tumben kamu berani ngomong?" Aduh, saya mulai menunduk, nggak jawab apa-apa. Lalu teman saya cerita lagi, kali ini sambil tertawa-tawa..."tapi lucu, ngomongnya putus-putus, kok ada jedanya gitu?" Saya tambah menunduk....Teman saya yang diceritakan kebetulan cukup dekat sama saya, dia langsung mengalihkan pembicaraan. Dan saya ingin menunduk lebih dalam, ingin mengubur diri ke dalam tanah, dan nggak muncul-muncul lagi....Oh my God...malu banget....saya pikir saya berhasil bicara dengan baik dan lancar, ternyata itu bukan pengungkapan yang bagus. Saya nggak akan lagi-lagi deh bicara di seminar.

13 May 2008

Bu Guru Galak

Waktu SMP saya punya guru galak. Ngomong sama guru apalagi galak, tentu saja saya bakal gagap. Karena itu sedapat mungkin saya menghindar ngomong sama guru, terutama bu guru yang galak ini.

Sialnya si bu guru galak ini tiap berangkat sekolah naik bis yang sama dengan yang saya tumpangi. Jadi kalau jamnya pas, saya pasti ketemu dia. Untuk mengucapkan "selamat pagi bu" rasanya nggak sanggup, pasti saya bakal gagap-gagap, jadi saya tidak pernah mengucapkan sapaan itu, saya hanya mengangguk dan tersenyum.

Tapi ternyata buat bu guru, itu saja tidak cukup. Sialnya lagi, dia tidak menegur saya langsung melainkan ngomel-ngomel di setiap kelas. Jadilah saya dicap murid tidak sopan dan disebarluaskan ke seluruh murid di beberapa kelas dan mungkin juga ke seluruh guru.

Waktu itu saya gundah gulana banget. Tapi lupa deh penyelesaiannya gimana. Saya juga lupa dapat nilai berapa di pelajaran dia. Yang jelas saya akhirnya lulus dari sekolah itu dan terbebas dari si bu guru galak.

Beberapa tahun kemudian, berlangsung reuni. Saya pikir semua orang sudah melupakan kejadian itu, ternyata satu orang murid, ya temen saya sih, masih inget dan ingatan itu diungkapkan terus menerus tiap ketemu. "Jaman SMP yang gue inget banget tuh waktu elu dicela-cela bu T.... (sensor) gara-gara lu nggak nyapa dia di bis." Anjrit!

12 May 2008

Mengapa harus ditutupi?

Kalau pertanyaan ini diajukan ke saya, mengapa gagap harus ditutupi? Jawabannya, karena memalukan. Selain itu masih ada stigma untuk orang gagap. Stigma bahwa orang yang gagap itu pasti bodoh. Padahal tidak benar begitu, tapi namanya juga stigma, agak sulit melawannya.
Daripada ada cap bodoh itu, lebih baik saya menutupi kegagapan saya.

Saya bisa menutupi gagap saya dengan berbagai cara, intinya bicara pelan-pelan dan tidak terlalu keras, serta pikir dulu sebelum ngomong. Hasilnya lumayan, walaupun setiap saya ngomong seperti ada jedanya.

Dulu, tiap saya mau ngomong diawali dengan terbata-bata yang kedengeran banget. Sekarang saya menutupinya dengan tidak bersuara, jadi berbentuk blocking gitu, diam di tengah-tengah ngomong. Makanya jadi seperti ada jedanya.

Biasanya kalau beberapa detik tidak keluar juga kata itu, maka saya nggak jadi ngomong, atau saya ambil napas trus ganti kalimat keseluruhannya, kadang-kadang jadi ganti maksud juga, tadinya mau bilang A jadi bilang B.

Memang nyebelin sih, dan masih ada kontroversi juga apakah gagap harus ditutupi (dengan risiko, maksud kita belum tentu tercapai) atau dibiarkan terdengar yang penting maksud kalimatnya tercapai diucapkan.

Saya sih tetap memilih menutupi gagap saya....soalnya gini bo' kalau dipaksakan ngomong, saya akan terlihat terbata-bata, kadang-kadang diiringi dengan gerakan-gerakan kepala menghentak-hentak gitu, lalu mata saya otomatis merem seperti orang kejang. Kalau kata-katanya benar-benar susah, suara yang keluar cuma erangan atau seperti orang mengendus gitu. Malu banget kan. Kalau lagi kelepasan terjadi juga sih hal seperti ini, dan rasanya malu banget. Nanti di posting-posting berikutnya akan saya ceritakan.

11 May 2008

Akhirnya Bikin Blog

Akhirnya saya bikin blog ini, terinspirasi blog bernama "closetstutterer" yang dibuat oleh Sophie Sacca. Saya nggak tau Sophie berkedudukan di mana, karena nggak ada keterangannya, tapi bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Posting dia berhenti pada 2007, selanjutnya nggak ada posting lagi di blog itu. Apakah dia pindah blog atau berhenti menulis, saya nggak tahu. Yang jelas blog itu menginspirasi saya untuk membuat blog ini. Cerita-cerita tentang saya sebagai gagapers yang mungkin saya bisa menjadi tambahan pengalaman atau pengetahuan buat orang lain.