04 July 2008

Jadi Wartawan

Tahukah kamu kalau saya adalah seorang wartawan? Betul lho saya wartawan. Wartawan kok gagap? Ya itulah saya. Gagap dan berprofesi sebagai wartawan. Bagaimana bisa survive? It's about blessing, berkat karunia Yang Maha Kuasa.

Sejak SMA saya kepincut sama profesi wartawan itu. Kebetulan saya senang baca, terutama baca koran. Saya juga suka menulis, khususnya yang non fiksi. Sudah sifat dari sononya juga saya suka mengamati dan senang sekali dengan kegiatan pengabadian, pendokumentasian, literatur dan hal-hal lain seputar itu. Perjalanan hidup saya pun mengarah ke profesi wartawan, sampai akhirnya berhasil jadi wartawan.

Meskipun kegiatan jadi wartawan itu harga mati, tapi tetap ada pilihan, wartawan koran, majalah, teve, radio, dll. Saya masih bisa milih. Karena saya gagap, maka sasaran saya wartawan untuk majalah dan review yang saya buat lebih ke arah human interest dan lifestyle. Jadi wartawan koran atau tabloid gosip yang harus mengerubungi nara sumber dan melontarkan pertanyaan secara langsung? No way hosey...nggak mungkin lah yaw. Apalagi jadi wartawan elektronik, teve dan radio gitu. Arrggghhhh....pegang mike tuh rasanya seperti megang granat kali ya... Enaknya jadi wartawan majalah yang topiknya human interest dan lifestyle bagi gagapers adalah, wawancaranya kebanyakan one on one. Kalau gagapersnya saya, situasi ini nggak terlalu membahayakan. Selain itu saya bisa nulis lebih banyak dan lebih panjang daripada sebagai wartawan koran. Menulis, itu kan yang saya suka.

Dari waktu kuliah di jurusan jurnalistik saya sudah harap-harap cemas. Nanti gimana ya pas mewawancarai nara sumber? Pasti nervous, ketakutan kalau gagap. Dan kalau benar-benar gagap kan malu-maluin. Ternyata benar, di awal-awal saya jadi wartawan, tiap menjelang wawancara tuh degdegannya bukan main. Eh, bahkan sampai sekarang sih masih suka degdegan. Tapi blessing....justru gara-gara jadi wartawan, gagap saya berkurang.

Begini tekniknya. Menjelang wawancara saya sudah persiapkan petanyaan dan saya latihan dulu. Hal-hal itu masih selalu saya lakukan sampai sekarang. Teknik kecil seperti teknik blocking, mengganti kata yang tiba-tiba nggak kluar dengan kata lain, tarik napas ketika hambatan itu terjadi...dan lain-lain tetap saya lakukan. Alhamdulilah sampai sekarang sudah banyak kali wawancara saya lakukan. Memang tidak semuanya lancar seperti air sungai, tapi so far saya bisa survive dan masih jadi wartawan sampai sekarang.

Mau tau sebuah rahasia? Saya paling sering menunda pekerjaan ketika harus melobi/ minta waktu wawancara dengan nara sumber. Persiapan untuk itu harus lebih lama daripada wawancara itu sendiri. Menelpon orang trus bilang "Saya mau minta waktu wawancara" adalah saat yang paling-paling nggak enak, pastinya sih saya gagap di situ...aduh malu-maluin bendera majalah saya nih....

7 comments:

  1. Dear B. Yasmin,
    Apa kabar?
    Rekan saya di ITB saat mahasiswa juga pernah gagap, namanya Arbain Rambey (sekarang wartawan Kompas), lalu dia juga sebagai photographer.

    Dia saat mahasiswa menurut cerita adik saya, sering banyak ngobrol apa saja untuk "menutupi" gagapnya.

    Hasilnya? Gagapnya hilang total...
    Selamat untuk profesi ibu....

    ReplyDelete
  2. Halo Pak Adhi.
    Kabar baik saja. Pak Adhi gimana kabarnya? jadi malu belum follow up hypnotherapy tempat Bapak. Terima kasih infonya ya. Saya baru tau pak Arbain Rambey dulu gagap. Hebat ya dia sekarang jadi fotografer terkenal

    ReplyDelete
  3. Dear Yasmin,

    I'm Juno. I stopped by to enjoy your blog. It's nice. Looking forward to more and more of your stories. Menurut saya, gagap itu bukan kekurangan. Sama halnya dengan disleksia. Bisa diatasi, koq! Have a blessed day, dear!

    Best
    Juno Bis

    ReplyDelete
  4. Hi Juno, makasi banyak udah mampir. Membuat saya senaaaaang banget. Buat saya komen ini merupakan semangat untuk berkegiatan hari ini. Termasuk semangat untuk cerita lagi, nanti saya posting. once again, thanks a lot, dear!

    ReplyDelete
  5. You are welcome, Yasmin. I might write a poem about you one day.

    Dulu saya pernah punya kekasih yang disleksia. Kalau dia belajar, atau ingin membaca tentang apa pun, saya yang membacakan dan dia mendengarkan. Ingatannya luar biasa. Sekarang dia jadi seorang fotografer profesional. Saya antarkan dia ke pintu gerbang awal karirnya... dan setelah itu dia berjuang merebut mimpinya! (Lho, koq, aku jadi curhat, sih!!) Talk to you some other time, ya. Bye now!

    Juno

    ReplyDelete
  6. Juno, makasi curhatnya, jangan ragu2 lagi kalau mau curhat ke saya ya. Seneng banget mantan kekasihmu itu bisa punya kekasih seperti kamu ya, hebat deh.
    Makasi juga kalau jadi bikin puisi tentang saya, waaa tersanjung.
    Email mu apa? biar aku bisa daftarin di blog ini, saat posting, kamupun dapat notificationnya. Oya, aku mampir blog kamu juga. Thanks Juno, you make my life very beautiful today.

    ReplyDelete
  7. Hi, Yasmin,

    It's evening now in my room. Heh, heh! I just got back from teaching. My e-mail is: juno_bis@yahoo.com

    BTW, among my students, there are two specials ones. One is stutterer and the other one authist. Teaching them is a rare challenge!

    What are you doing now? Are you on-line most of the time. Or only during the day?

    Cheers!

    Juno

    ReplyDelete